FPI Online, Jakarta - Jum'at, 4 November 2016, ada demo besar-besaran
yang disebut Aksi Bela Islam II dan Aksi Bela Al Qur'an. Aksinyang
digelar sejumlah organisasi kemasyarakat Islam itu dikoordinir oleh
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) yang
diketuai KH Bachtiar Nasir. Di Jakarta, aksi dimulai setelah Shalat
Jum'at di Masjid Istiqlal, lalu mengepung Istana Kepresidenan (Istana
Merdeka, Istana Negara, Wisma Negara, Kantor Presiden dan tentu Kompleks
Sekretariat Negara). Di daerah lain juga akan ada demo yang sama, demo
penegakan hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, si penista
Al Qur'an, bukan demo anti agama Kristen, bukan demo anti Cina dan bukan
demo anti Bhinneka Tunggal Ika.
Aparat keamanan disiapkan/disiagakan penuh, terdiri dari Polisi dan
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jumlahnya diperkirakan 18.000
personel. Ada yang menarik dari pernyataan petinggi keamanan, "Petugas
di lapangan tidak dilengkapi dengan peluru tajam." Tentu, ada
pertanyaan, yang dibawa aparat apa? Ya biasanya peluru karet, gas air
mata, tameng dan alat pemukul dari rotan. Menariknya lagi, 800 polisi
(500 Brimob) dan 300 Polisi Wanita (Polwan) diturunkan mengamankan
dengan pakaian Islami. Brimobnya pake sorban dan peci serba putih dan
Polwannya pake jilbab serba putih juga. "Alhamdulillah anggota polisi
sudah jadi 'anggota' FPI (Front Pembela Islam)," demikian gurauan yang
saya dengar di Markas FPI Petamburan, Jakarta Pusat.
Banyak berita di media sosial (medsos) yang mencoba menyimpangkan tujuan
demonstrasi yang diperkirakan akan diikuti 500.000 orang lebih.
(Bachtiar Nasir menyebutkan 200.000 orang lebih). Demo Aksi Bela Islam I
saja pesertanya diperkirkan mencapai 100.000 orang, tetapi media-media
(karena sekuler) menyebutkan sekitar 5.000 sampai 10.000 orang).
Pemberitaan belakangan dicoba dialihkan dari ingin penegakan hukum
terhadap Ahok (polisi diminta menangkapnya) menjadi seolah-olah ingin
menggulingkan Presiden Joko Widodo. Yang lebih fatal lagi, kegiatan
tersebut dikait-kaitkan dengan anti Cina dan anti agama Kristen, serta
dikaitkan juga dengan kelompok ISIS.
Waduuuh...kalau begini bagaimana ya cara berpikir mereka itu, terutama
para pendukung Ahok, yang bela mati-matian si mulut ember itu.
Adu-domba PKI
Tidak ada anti ras, tidak ada anti agama lain. Tidak ada anti Bhinneka
Tungal Ika. Itu juga yang disampaikan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab
saat jumpa pers di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat. Pendemo hanya anti
pada Ahok yang menista Agama Islam, menghina Al Qur'an. Buktinya, saat
demo Aksi Bela Islam I, dua minggu lalu, tidak ada satu botol aqua pun
yang dilemparkan pendemo ke halaman gereja yang dilewati. Selain di
seberang Masjid Istiqlal, juga ada gereja di dekat Stasiun Gambir. Kalau
dikatakan anti Cina, toh tidak ada juga toko Cina, atau mobil Cina yang
dirusak pendemo. Bahkan, banyak juga orang Cina yang tidak suka sama
Ahok.
Pendemo tidak membenci agama lain dan ras tertentu. Yang dibenci adalah Ahok yang kebetulan Cina dan beragama Kristen.
Yang pasti dan jelas demo 4 November 2016 itu juga diikuti kaum
nasionalis seperti putra Presiden I RI, Rachmawati Soekarno Putri, Adi
Masardi dari Rumah Perubahan Indonesia, musisi Ahmad Dhani, budayawan
Ratna Sarumpaet. Dua nama terakhir pernah berseteru dengan FPI.
Akan tetapi, dalam demo mereka berpartisipasi aktif. Ahmad Dhani akan
menyumbangkan sound system yang biasa digunakan di panggung musik. Ia
juga menegaskan, yang membelok-belokkan pernyataan dan menuduh-nudih
aksi demo itu tidak nasionalis adalah PKI (Partai Komunis Indonesia).
"Itu cara-cara PKI," katanya lantang.
Sedangkan Ratna Sarumpaet menyebutkan aksi demo bukan intoleran. "Yang intoleran itu Si Ahok yang menghina Al Qur'an," katanya.
Oleh karena itu, jika ada kekhawatiran akan merembet ke kelas bawah,
terutama keturunan Tionghoa yang menengah ke bawah, itu juga tidak benar
dan kekhawatiran yang berlebihan.
"Kita melakukan aksi damai. Tidak mau kekerasan dan kerusuhan apalagi
chaos. Akan tetapi, tidak tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang
ingin rusuh dan chaos. Kita tidak bisa menutupi itu," kata Habib
Rizieq.
Saya teringat ketika terjadi kerusuhan Mei 1998. Sebagai wartawan, saya
meliput peristiwa tersebut dan mewawncarai beberapa orang yang sempat
menjarah dan membakar rumah dan toko (ruko) di daerah Cileduk, dan
wilayah Tangerang lainnya, termasuk ruko yang dijarah dan dibakar di
depan perumahan saya tinggal (Cipondoh, Kota Tangerang). Menurut
beberapa orang yang saya wawancara, mereka melakukan penjarahan dan
pembakaran karena terjadinya ketimpangan ekonomi dan terlalu dekatnya
rejim Soeharto dengan konglomerat Cina. (Hasil wawancara tidak dimuat di
koran saya bekerja, karena saat itu yang berkuasai adalah rejim
Soeharto yang disokong oleh Militer (TNI dan Polri).
Mereka menyebutkan Soeharto terlalu memanja (Liem Sio Liong alias Sudono
Salim) dengan Grup Indocement dan BCA-nya, pun juga dengan pengusaha
keturunan Cina lainnya. Jadi, akibat ulah segelintir pengusaha turunan
yang sukses, maka korbannya adalah rakyat pemilik ruko. Nah, kalau pun
sekarang (mudah-mudahan tidak terjadi ya) terjadi kerusuhan dan
pembakaran, yang dibenci itu adalah tetap Ahok. Hanya akibatnya merembet
ke kelas bawah, kepada para pedagang yang notabene adalah keturunan
Tionghoa.
Akan tetapi, saya yakin masyarakat muslim yang turut demo sudah sangat
cerdas. Asalkan, aparat penegak hukum (polisi) menyeret Ahok secara
hukum. Ahok tidak bisa klarifikasi begitu saja mengenai pernyataanya di
Kepulauan Seribu itu. Dia tidak bisa membela dengan mengatakan, "Saya
tidak bermaksud menghina agama Islam dan Al Qur'an. Saya sekolah di SD,
SMP Islam....bla...blaa...blaa." Bahkan dia pun sering mengatakan ayah
angkatnya seorang Muslim. Orang yang sudah nyantri puluhan tahun saja
tidak berani menanfsirkan sendiri Al Qur'an. Bahkan yang sudah hagal 30
zus.
Masih ingat kasus Aswendo, yang menghina Nabi Muhammad SAW di tabloid
Monitor. Aswendo yang juga Kristen mengatakan tidak bermaksud menghina
Nabi Muhammad. Tetapi, dia tetap divonis bersalam 5 tahun penjara.
Jadi, polisi diharapkan benar-benar mendengarkan suara umat Islam.
Biarkan Ahok melakukan pembelaan di depan hakim, dan hakimlah yang akan
memutuskan salah atau tidaknya Basuki. Bukan Ahok sendiri dan bukan juga
penyidik dan polisi. Polisi jangan takut pada pengusaha Cina di
belakang Ahok. Polisi juga jangan bertindak sebagai hakim apalagi
"pengacara" buat Ahok.
Nanti juga akan akan kalimat, "Kalau begini, investor takut masuk.
Investor dalam negeri akan kabur." Itu kalimat ancaman, yang selalu ada
sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Tetapi, nyatanya sekarang
investor aman-aman saja.
Polisi harus ingat sejarah reformasi. Siapa yang paling banyak korban,
umat Islam atau bukan? Siapa yang paling banyak menyuarakan agar Polri
berpisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sekarang
TNI. Saya masih ingat ketika polisi menjadi bulan-bulanan pendemo,
mahasiswa dan rakyat di sekitar Jembatan Semanggi. Banyak polisi juga
yang jadi korban.
Wahai polisiku, jadilah penegak hukum yang adil dan seadil-adilnya.
Ingat sumpah jabatan yang dengan tegas menyebutkan tidak berpihak kepada
golongan tertentu. Saya khawatir, jika aparat polisi tidak cepat
merespon keinginan umat Islam, azab Allah Subhanahu wata'ala akan turun.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga petinggi kepolisian benar-benar
membuka mata dan telinga terhadap apa yang disuarakan rakyat, utamanya
Umat Islam yang Kitab Sucinya dihina.