
Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku
menerima gratifikasi Rp 4,5 milyar dari pengusaha Hamid Djojonegoro. Tapi
sampai sekarang KPK belum bertindak apa-apa.
Siti Zuhro, pengamat politik dan peneliti Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menilai Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok belum berhasil memimpin Jakarta. Soalnya, menurut peneliti
itu, Gubernur Ahok tak mampu menjalin relasi yang harmonis dengan DPRD Jakarta.
Malah Gubernur Ahok dan para pemimpin DPRD DKI (seperti Haji Lulung) saling serang di depan publik.
Akibatnya di bawah kepemimpinan Ahok, penyerapan APBD Jakarta sangat rendah, hanya
10% sampai 30%. Kalau sudah begini, yang menderita adalah rakyat Jakarta.
Pemerintah DKI tak bisa berbuat apa-apa
untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Jalan berlobang di sana-sini.
Sehari-hari rakyat hanya bisa menyaksikan Gubernur Ahok marah-marah, sok
jagoan, tantang sana tantang sini.
Rakyat menyaksikan melalui layar TV atau berita
koran bagaimana Gubernur keturunan Tionghoa kelahiran Pulau Belitung itu
memarahi ibu-ibu tua atau rakyat kecil yang datang menemuinya di Balai Kota.
Saking seringnya Sang Gubernur marah-marah, tahun lalu Ahok sempat hampir baku
pukul dengan seorang pengacara yang
tersinggung karena dimaki-maki Ahok. Untung para staf yang mendampingi Ahok
dengan sigap berhasil memisahkan kedua orang yang sudah dirasuk emosi tinggi
itu. Sepintas kelihatan Gubernur Ahok
terpuaskan kalau sudah marah-marah terhadap siapa saja di depan publik –
dan biasanya diliput wartawan Balai Kota.
Tentu saja Jakarta tak bisa dipimpin dengan cara
seperti ini. Itu terbukti dari penilaian yang diberikan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan) menyangkut nilai akuntabilitas kinerja
Pemerintah Provinsi ,yang diumumkan 4 Januari 2016.
Ternyata Jakarta menempati peringkat ke-18 dari
seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Peringkat pertama diduduki Yogyakarta, disusul Jawa Timur dan Kalimantan
Tengah. Gubernur Ahok yang biasanya tukang ribut dan suka bersikap
reaktif, diam seribu bahasa ketika hasil
penilaian ini diumumkan Kemenpan.
Bila dilihat pendapat pengamat politik Siti Zuhro
dan penilaian Kemenpan itu, Gubernur Ahok yang akan berakhir masa jabatannya
tahun depan (2017), jelas tak layak untuk dipilih kembali. Ini penilaian obyektif.
Jakarta sebagai ibukota Negara tak boleh dipimpin gubernur yang menurut penilaian pemerintah (Kemenpan)
sendiri berada di peringkat 18. Paling tidak, mestinya Jakarta dipimpin
Gubernur dalam peringkat 10 besar. Selain itu, mestinya Gubernur Jakarta adalah
seorang yang mampu mengontrol emosinya, bukan seorang yang hobi marah-marah di
depan umum dengan emosi tinggi yang tak terkontrol.
Apalagi belakangan terbongkar berbagai masalah yang
akan membuat Gubernur Ahok semakin terpuruk saja. Misalnya, kasus pembelian lahan Rumah Sakit
Sumber Waras oleh Pemda DKI. Ternyata Ahiok terlibat langsung dalam pembelian
lahan itu dan belakangan ketahuan harga
tanah itu digelembungkan. Ahok selaku Gubernur terlibat langsung bertemu
dengan Ketua Yayasan Rumah Sakit Sumber
Waras, Kartini Mulyadi (pemilik lahan)i, dalam transaksi ini. Persekongkolan Ahok dengan Kartini
Mulyadi kemudian yang menentukan harga pembelian lahan tersebut. Karena berbagai keanehan dalam jual-beli ini,
kasus Rumah Sakit Sumber Waras kini ditangani KPK.
Itu belum cukup.
Atas restu Ahok, tim suksesnya
dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, yang disebut
sebagai “”Teman Ahok””, ternyata menggunakan sebuah bangunan di kawasan
Pejaten, Jakarta, sebagai kantor.
Bangunanan itu bernama Graha Pejaten.
GRATIFIKASI RP4,5 MILYAR
Apa salahnya Teman Ahok menggunakan Graha
Pejaten? Apalagi menurut Gubernur Ahok,
Tim Suksesnya itu menggunakan Graha Pejaten dengan cara membayar kontrak.
Katakanlah benar bahwa Teman Ahok membayar kontrak Graha Pejaten. Masalahnya:
Apakah pantas bangunan milik Pemda Jakarta dikontrakkan untuk kepentingan
politis? Bolehkah gedung itu dikontrak
untuk jadi kantor cabang Gerindra atau PDIP? Bolehkah Partai PAN mengontrak
kantor di Taman Impian Jaya Ancol yang milik Pemda?
Bangunan rumah milik Pemprov DKI Jakarta yang
dijadikan markas Teman Ahok di Graha Pejaten, Pasar Minggu, Jaksel.
Wakil Gubernur Jakarta Djarot Syaiful Hidayat
mengatakan tak sependapat dengan Ahok soal ini. ‘’Mengontrakkan lahan milik
Pemda itu ada etikanya. Ada etika birokrasi, ada etika penggunaan lahan milik
Pemda,’’ kata Djarot.
Tapi yang paling parah ketika Gubernur Ahok sendiri
mengumumkan sumber dana yang diperolehnya untuk membiayai kampanyenya.
Seusai menjadi pembicara dalam suatu acara di gedung Reformed Millenium
Center Indonesia (RMCI), di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu, 12 Maret
lalu, Gubernur Ahok mengungkapkan kepada
wartawan dari mana dia mendapat dana yang kemudian dia serahkan kepada Teman
Ahok. Tak jelas apakah dana itu digunakan untuk kemudian membuka booth (stand
pameran) sedikitnya di 12 mall mewah di Jakarta, seperti di Mall Kelapa Gading,
Pluit Village, Emporium Mall Pluit, Mall Pondok Indah, dan sebagainya.
Dengan
berkeliaran di mall-mall mewah begitu, tampaknya tim kampanye Ahok hanya
menembak segmen masyarakat menengah ke atas, dan terutama kelompok etnis
tertentu yang memang rata-rata hidup lebih mewah, sehingga cocok dengan
kehidupan di mall-mall tadi. Teman Ahok tampaknya tak merasa perlu bergerilya
di gang-gang becek atau jalan-jalan sempit Jakarta yang sesungguhnya dihuni
mayoritas penduduk Jakarta.
Dari mana dana diperoleh Ahok? Menurut pengakuan
Ahok sendiri yang dimuat di sementara media (antara lain lihat Vivanews Sabtu,
12 Maret 2016), Ahok mengaku bertemu dengan pengusaha Hamid Djojonegoro,
bos ABC Group, perusahaan yang antara
lain memproduksi makanan. Gubernur Ahok mengaku minta bantuan kepada pengusaha
itu.
Mungkin karena Ahok itu seorang Gubernur Jakarta,
atau karena alasan lainnya, yang pasti pengusaha itu kemudian mengirimkan uang
sebesar Rp4,5 miyar kepada Ahok. Menurut pengakuan Ahok, jumlah itu dikirimkan
terpecah-pecah dalam sembilan pengiriman, dan tiap pengiriman Rp500 juta. Dalam keterangannya kemudian Gubernur Ahok mengatakan
semua uang itu dia serahkan kepada para pengurus Teman Ahok.
Bahwa Gubernur Ahok memberikan uang itu semuanya
kepada Teman Ahok, itu tentu terserah maunya Ahok. Tapi ketika Ahok meminta
uang dan kemudian menerima pemberian uang sebesar Rp4,5 milyar dari pengusaha
tadi, itu jadi masalah besar.
Bahwa Ahok ketika meminta dan menerima uang Rp4,5
milyar itu, memang berencana menggunakan dana itu untuk keperluan kampanye
pemilihan dirinya kembali sebagai Gubernur Jakarta, itu tak masalah. Yang jadi
persoalan: ketika meminta dan menerima uang itu, Ahok masih Gubernur Jakarta
yang resmi dan definitif.
Artinya,
ketika Gubernur Ahok meminta dan
kemudian menerima uang Rp 4,5 milyar dari pengusaha Hamid Djojonegoro (sesuai pengakuan Ahok sendiri),
jelas tindakan itu sudah masuk kategori
gratifikasi sebagaimana yang dimaksud fasal 12 B, ayat I Undang-Undang
nomor 31/1999 yunto Undang-Undang nomor 20
tahun 2001, yang menyatakan
bahwa gratifikasi kepada pegawai
negeri adalah suap.
Artinya, dengan meminta dan menerima sumbangan
Rp4,5 milyar tadi, Ahok harus segera menjadi pasien Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Para pejabat KPK tak bisa pura-pura tak tahu apa yang telah
dilakukan Ahok. KPK harus segera memanggil – atau kalau perlu menangkap Ahok –
dan mengusut uang suap yang diterimanya dari pengusaha Hamid Djojonegoro itu.
0 comments:
Post a Comment